Puisi dan Dunia Maya

Sajak-sajak Wahyu Goemilar

 
AKU INGIN MENULIS PUISI

Aku ingin menulis puisi
 seperti pembatik yang menuangkan cantingnya diatas kain
 lalu di buatnya titik, setelah itu ditarik garis
 kemudian menjelma rupa

 ia kemudian meniupkan rohnya
 dan mencelupkannya pada cinta
 dan kita menggunakannya dimana-mana

 Aku ingin menulis puisi seperti sang mpu membuat keris
 ia menaklukan logam dan baja, menempanya di dalam jiwa
 kemudian membasuhnya dengan darah
 dan di catat sejarah

 Aku ingin menulis puisi seperti anak-anak bercinta
 ia begitu sederhana, sangat sederhana
 bahkan ketika mereka harus kawin muda



PADAHAL

 Padahal aku telah berdoa kepadamu
 di tempat yang sekiranya engkau berada
 di hutan, gunung, bahkan samudra
 engkau tetap menggelengkan kepala
 dan kami tertimbun gempa

 Padahal aku telah berzikir kepadamu
 ditempat yang sekiranya engkau berada
 di lapangan upacara, radio, televisi dan istana negara
 engkau tidak peduli
 dan tetap mengirim kami tsunami


 Padahal aku telah meminta pertolongan
 lewat teman dekatmu
 para kiai, ustadz, pendeta dan biksu
 engkau tetap membisu
 sepertinya suara kami tak sampai padamu
 (atau engkau tetap ragu?)

WAHYU GOEMILAR
lahir di Cianjur 27 september. Pernah menjadi penyair dan menulis puisi di surat kabar. Pernah juga menjadi karyawan BUMN kemudian ikut pensiun muda. Sekarang menikmati hidup membesarkan anak - anak sambil berjualan.










 
 
Sajak-sajak  Hudan Nur

TEMBANG TOLARE

                              : (alm) Hidayat Lembang
 

 Nyanyian itu hanya sampai di teras-teras rumah orang-orang Biromaru yang gemar berdadu, nyanyian anak lembah yang ditiupkan angin sebelum kamis memanggilnya sebagai bujang lumbago. Terkadang ia hanya tahu bagaimana meniup lalove sedang lupa mewarnai bilur-bilur nadinya dengan dedaunan. Nyanyian itu pernah kudengar di Sigi saat nelayan dari Pantai Barat menangkap napoleon dan cakalang, menggali teluk yang tak lumus dalam prakiraan manusia sampai di bibir pantai dan malamnya hanya mampu menterjemahkan lelah selebihnya nyanyian itu berlumang di telingaku. Marilah 'nak menyanyi di Loru jangan kau dengar orang kampung mengusik iramanya karena peta batin sudah tidak merurut lagi dengan dendang-dendang kakula, sudah jarang didengar tabuhannya menyuarakan dekaknya ke kita. Ia ligakan senandung dalam solmisasi hidup yang sangat sumbang. Hanya dengan melarungi secawan dupa bertuhankan ritus balia-balialah ia mengenal gugusan kelenjar air mata yang setiap hari harus diminumnya. Nyanyian itu berakhir seminggu lalu saat lelaki tolare itu ingin memanen akustik ciptaannya lewat roh-roh lembah yang selama ini sempat menjaganya tetapi ia lupa ada tembang lain yang kapan saja bisa datang menculik roh-roh itu!
 
 
 Lembah Palu, November 2010 
 
 
MENIKAHI MALAM

                                    : Hands Ranjiwa
    seorang paroki membaptismu sebagai pemazmur rupa
      semangkuk hujan telah dipersiapkannya
      kau simpan dalam album jalanan yang kau rajut di sepanjang musim
 lalu dijadikan garda melamar kekasihmu

hands,

kau merambang malam sebagai galas tuhan
yang maha pedih
airmata anakmu hanya sebaris kebekuan yang kau rasa bila dingin menerjabmu
tetapi kau tetap bertahan
membina hubungan dengan malam
      lalu menyetubuhinya

hands,

di jantung kota ini kita berkenalan dalam selembar kanvas
kau pagut malam dengan lukisan muram
aku masih melihat wajahmu menekan kemerdekaan
dibalik ruang yang kau pasung
sebagai ranum kepura-puraan

menikahi malam telah membuatmu haus
      : kembaramu mengaduh
kau memakunya dalam segandeng rana

hands,

percuma kau menuba jiwa belantara,
      memetik bintang di kantung mata pernikahanmu
kau tetap berhati gersang!
 
 

Teras Puitika, 16 Januari 2011
 
 

TRIWIKRAMA CINTA
 
lelaki kusut itu telah menjadi sarjana cinta
      di sajak-sajak tuanya dalam perban kesetiaan
merembang bujana meniti keingsunan 
cinta yang fasik
dongeng petang di serambi hatimu
merubah batin menjadi nubuat sangsai
tak lunas menghalau rindu yang terselip disaku rompinya
lantaran jodoh hanya separagraf kalimat
kau lasah har -hari dengan keringat perempuan
angin menukil proposal cinta tanpa gelagat berkesudahan
lelaki kusut itu masuki balai agung
pendeta umumkan gelar barunya

: fetus dilanglang alamat kasih
mazbah gereja disesaki pelawat-pelawat kata
karantina penghabisan lalu-landang di hadapanmu
seorang pastur berkata:
      di jari manismu ada rindu*



Teras Puitika, 17 Januari 2011  
 
)*Judul buku puisi Hamami Adaby tahun 2008

HUDAN NUR lahir pada 23 November 1985. Sekarang dipercaya sebagai ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Palu-Sulawesi Tengah. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, essay dan artikel tersebar pada Untaian Mutiara RRI Nusantara, Banjarbaru Post, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Buletin Sloka Tepian, waTas Media, Buletin Rumah Sastra Bandung, Tabloid Realitas, Rakat Media, Buletin Aliance BenKilTra, Sinar Harapan, Republika, Suara Karya, Sinar Kalimantan, Radar Sulteng, Mercusuar, Media Alkhairat, Buletin Hysteria, Majalah Sastra Horison .

Sering mengikuti dan membuat diskusi, apresiasi dan event bertajuk sastra. Diundang pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, 2008. Mengikuti Pertemuan Literasi Indonesia Oleh Ode Kampung, Rumah Dunia di Serang Banten pada Desember 2008. Menghadiri Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (Kepulauan Bangka Belitung) 2009 dan Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjungpinang (Kepulauan Riau) 2010. Tahun 2007 menjadi peserta MASTERA (Majelis Sastra se-Asia Tenggara): Puisi.

Sajak-sajaknya bisa ditemukan dalam bunga rampai: Narasi Matahari (KSBK:2002), Notasi Kota 24 Jam (KSBK:2003), Bulan di Telan Kutu (KSBK:2004), Bumi Menggerutu (KSBK:2005), DIMENSI (KSSB:2005), Ragam Sunyi Jejak Tsunami (Medan, 2005), Melayat Langit (KSBK:2006), Rahasia Sedih Tak Bersebab (Pan.Aruh Sastra:2006), Seribu Sungai Paris Barantai (Pan.Aruh Sastra:2006), 142 Penyair Nusantara Menuju Bulan (KSSB:2007), Kugadaikan Luka (KSBK:2007), Antologi Penyair Kontemporer Indonesia Antologi Puisi Dwi Bahasa: Indonesia dan Mandarin (Perhimpunan Penulis Yin Hua, Jakarta:2007), Malaikat Hutan Bakau (KSBK:2008), Tarian Cahaya Di Bumi Sanggam (Pan.Aruh Sastra:2008), Wajah Deportan (Pusat Bahasa, Jakarta:2009), Menggoda Kehidupan (KSBK:2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI II, Bangka Belitung:2009), Do’a Pelangi Di Tahun Emas (Pan.Aruh Sastra:2009), Kaos Hitam Cinta, Antologi Puisi Penyair Perempuan Indonesia Mutakhir (Masyarakat Sastra Jakarta:2009),  Nyanyian Pulau-Pulau Wanita Penulis Indonesia (Yayasan Obor Indonesia:2010), Berjalan Ke Utara In Memoriam Moh. Wan Anwar (Magma, Bandung: 2010), Beranda Senja (Kosa Kata Kita, Jakarta: 2010), Percakapan Lingua Franca (TSI III, Tanjungpinang–Kepulauan Riau) dan Menulis Dalam Gelap: Blogger di balik Sampul (Komunitas Blogger Kayuh Baimbai: 2010).

Cerpen-cerpennya terdapat dalam antologi: Bunga Penyejuk Hati (2007) dan Tanpa Nyanyian (TahuraMedia:2008). Manuskrip  pribadi: Si Lajang (2002) dan Tragedi 3 November (2003). Di perpuisian bersama kawan-kawan ikut mendirikan Komunitas Teras Puitika dan AUK. Alamat    Jalan Tanderante No. 30 RT01/05 Kel. Kabonena Palu Barat Sulteng 94228. Weblog        : http://hudannur.blogspot.com   Email hudan.nur@gmail.com


Sajak- sajak Bunyamin F. Syarifudin



Bersandar Pada Senja

 bersandar pada senja
sahaya terpukau dengan
selendang pelangi yang kau kenakan

bersandar pada senja
sahaya berkirim salam
padamu yang selalu membayang


"assalamualaikum ya rahiim",
dan ku titikkan di Qalb!

 2010



Kita Berdua Duduk; Tiba-tiba Kau Bertanya


Kita berdua duduk
Tiba-tiba kau bertanya tentang Ia
Aku bilang ada, kau bilang hilang
Aku bilang di nadi, kau bilang tak berdetak



Aku bilang, ”mari kita menghela nafas dulu.”
Kau malah terengah-engah, tak sabaran
Aku bilang, ”mari kita memesan riak air untuk rasa haus kita.”
Kau malah mengeringkan kerongkongan


Aku memesan adzan yang bersembunyi di mushola-mushola
Kau memesan rintik hujan yang mengiris pelangi
Aku memesan malam yang dirindu para Molana
Kau memesan lembayung yang memerah dan bertanduk


Aku makan wafak-wafak pelipur rindu
Kau jalin huruf-huruf menjadi sihir
Kita berdua duduk
Pada sepi yang purba

Aku bilang, “mari kita cari rumah Ia, di Qalbu!”
;kau tertidur lelap


2010



Pertemuan

 Menasbihkan namamu
Seperti api yang membakar air
Meluap-luap
                   tak terbatas
 Mencintai namamu
seperti air yang merindu alir
mula-mula masuk tanah
diisap akar lalu diserap pembuluh dan urat-urat
                   menjadilah reranting,
          dedaun dan bebunga
Namamu adalah waktu
Yang menopang bebatang dari hembus angin
Tegak tak bersandar
Dalam namamu
Kulihat namaku
 Hilang!


2010



Dalam Hujan

 dalam Hujan, ku pasrahkan doa-doa
bersama riciknya yang mengalir ke selokan,
ke sawah-sawah, lalu ke tempat-tempat yang menanti basah


mungkin besok; padi-padi dan bunga-bunga
serta cakrawala akan merekah
juga burung-burung dan kupu-kupu serta malaikat;

akan mengibaskan sayap-sayapnya pada cuaca yang mengabut
dalam Hujan, yang tetap terisak,
ku pasrahkan segalanya
pada yang Tak Terhingga

 Hu!

2010

BUNYAMIN F. SYARIFUDIN (Beni),
lahir di Tasikmalaya, 16 November 1978. Alumnus IAIN (UIN)  SGD Bandung. Puisi dan esainya pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Kompas Jabar, Majalah Suaka, Majalah Seni Budaya, Buletin Grandis, Wacana Publik, Situseni, Sasaka. Puisinya terkumpul dalam antologi bersama “Metamorfosa” Komunitas Siraru 2003, ”Ziarah Kata” Majelis Sastra Bandung 2010, antologi puisi dan cerpen ”Bersama Gerimis” Majelis Sastra Bandung 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar Anda disini. Sedikit Komentar Anda Sangat Bermanfaat Untuk Kemajuan Blog In

WARNING!
JANGAN MENINGGALKAN PESAN SPAM, KARENA AKAN TERHAPUS SECARA OTOMATIS.